top of page
Writer's pictureFKK Sibolga-Tapteng

CERPEN | DIBALIK SEBASKOM IKAN

​30 Mei 2021


Ayam berkokok, tandanya sudah pagi. Bukan berarti matahari sudah terbit, bahkan azan subuh pun belum berkumandang. “Ntahlah, mungkin ini ayam di kampung ini. Padahal kalau katanya lagu, ayam itu berkokok kalau matahari terbit” gumamku dalam hati sambil tersenyum mengawali pagi ini. Seperti biasa, tidak ada yang berubah dari kesibukanku di pagi hari. Sama seperti kemarin, kemarinnya lagi, tepatnya seperti 30 tahun yang lalu ketika orang tua ku sudah tidak kuat lagi berjualan nasi. Dan sekarang aku yang melanjutkan usaha keluarga kami itu. Memang hasilnya tidak seberapa, tapi cukuplah untuk menghidupi keluarga kami, sekolah anak-anakku, dan mudah-mudahan cukup untuk biaya lain-lain yang tidak bisa ku perkirakan.

Berjalan sedikit mengantuk menuju pasar yang hanya berjarak 300 meter dari rumah. Pukul 04.30 WIB, bukan waktu tidur untuk orang-orang yang bergelut mencari nafkah di pasar. Pasar sudah ramai, tapi orang-orang tidak perlu pusing untuk berbelanja karena sudah memiliki penjual langganan yang berani memberikan harga murah. Hanya saja, bagiku akhir-akhir ini ada yang menjadi pusat perhatianku diantara ribuan manusia yang tumpah ruah di tempat ini. Dia seorang ibu tua, mungkin seorang nenek tepatnya. Dia duduk sendiri di antara lapak ikan dengan alas balok kayu yang diletakkan atas jalan, serta sebaskom ikan yang dijualnya. Dia tidak menawarkan dagangannya dengan memanggil para pembeli seperti yang dilakukan para penjual lagi. Hanya diam, dan orang-orang pun melewatinya begitu saja seakan-akan dia hanya sebuah onggokan benda tak berguna yang memang tidak perlu diperhatikan. Namun setelah aku perhatikan beberapa lama, mungkin hanya orang-orang yang beriba hati saja yang mau membelinya.


Setelah urusanku selesai, aku tinggalkan pasar itu. Tapi ada rasa yang sedikit berbeda kali ini. Rasa penasaranku tertinggal pada ibu penjual ikan itu.


***


Bukan hanya pada pagi hari saja, siang bolong ini pun aku harus ke pasar untuk membeli bahan makanan untuk jualan di malam hari. Walaupun pagi hingga malam berjualan, badan ini sudah terbiasa untuk bekerja keras demi kehidupan keluarga. Terkadang secara sepintas, orang-orang bingung melihat kerja kerasku ini jika dibandingkan dengan penampilan keluarga kami. Kami terlihat sangat sederhana, tidak ada perkembangan, dan apapunlah yang menimbulkan tanda tanya mereka.


“Uda, pagi siang malam uda jualan. Tapi kok ndak maju-maju usaha uda? Begini-begini aja dari tahun ke tahun”, tanyanya sambil membayar makananan yang sudah dia makan.


“Ya.. begitulah pak. 3 anak saya, sekolah semua. Satu di SMP Al-muslimin, satu di SMA Matauli, satu lagi kuliah di UI. Mana mungkin maju usaha pak, yang penting anak-anak saya maju”, jawab saya dengan senyum bercampur bangga. Dan dia hanya menangguk tersenyum setengah terkejut. Percakapan ini memang sering terlontar dari pelanggan-pelanggan warung nasi ini, dan sering juga untuk tidak bertanya lagi karena mereka paham dengan jawabanku tadi. Sekolah yang ku sebutkan tadi memang sekolah favorit di daerahku, berbeda dengan anak pertama ku, sekolahnya sudah terkenal di Indonesia ini. Kata orang-orang seperti itu. Aku memang tidak tahu begitu banyak, tapi bagiku yang hanya lulus SMP ini, menyekolahkan seluruh anak-anakku hingga ke perguruan tinggi adalah suatu kebanggaan tersendiri.


Kembali berangkat ke pasar. Masih! Nenek itu masih berada di tempat duduknya, sama seperti tadi pagi. Padahal orang-orang yang berjualan tadi pagi, biasanya sudah membereskan dagangannnya jam 11 siang. Setelah berjalan lebih dekat melewatinya, jawabannya pun langsung terlihat. Ikan yang dijualnya masih belum habis.


Akhirnya aku pun bertanya-tanya kepada penjual sayur yang kebetulan ada di dekatnya.


“Pak, itu si ibu yang jualan ikan disana, biasanya pulang jam berapa pak? Kasihan juga ya”, tanyaku sambil memilih-milih kentang yang ada di lapaknya.


“Iya sih pak, kasihan juga. Di pasar ini, dia itu udah berjualan lebih duluan dari saya pak”, mulainya cerita, “Ya… gitu-gitu aja cara dia berjualan. Paling pulang setelah ikannya habis, kira-kira jam 2-anlah dia baru pulang”.


“Memangnya dia tinggal dimana pak? Jauh dari pasar ini ndak?” , tanya saya lagi.


“Wah, kalo soal itu saya kurang tahu pak. Yang saya tahu pak, ibu itu bisu pak. Ndak bisa berbicara”.


Percakapan singkat itu pun diakhiri dengan pembayaran sayur-sayur yang ku beli. Akhirnya aku baru tahu kalau ibu itu ternyata bisu. Pantas saja dia hanya diam kalau berjualan.


Singkat cerita, perjalanan saya ke pasar untuk berbelanja hari itu mendapatkan beberapa informasi tentangnya. Tapi tidak ada yang yakin dengan jawaban mereka sendiri. Ada yang mengatakan rumahnya di kampung kota dekat pelabuhan sambas, ada yang berbisik anak-anaknya pergi merantau, tapi tidak pernah pulang lagi, dan cerita-cerita lainnya.


Hari ini cukup sudah rasa ingin tahu ku terpuaskan. Aku pulang, tiba-tiba ada yang janggal dalam hatiku, rasa empatiku untuk menolongnya muncul. Terbersit dalam hatiku menolong beliau, bagaimana pun caranya. Saat berbicara dengan diri sendiri, akhirnya aku menemukan jawaban singkatnya. “Mungkin dengan setiap hari aku membeli dagangannya, aku bisa membantunya”, janji ku dalam hati.


***


Besok hari kembali lagi melakukan rutinitas di pagi hari. Bukan. Bukan rutinitas yang kemarin lagi. Ada hal baru yang kumulai di pagi ini. Biasanya tujuanku hanya untuk berbelanja bahan untuk jualan, tapi pagi ini ada tambahan kegiatan, seperti janjiku kemarin, membantu nenek penjual ikan. Mudah-mudahan hal ini cukup mempengaruhi hidupnya. Minimal dia pulang lebih pagi dari biasanya.


“Nek, ikan kembung ini berapa setengah kilo?”, tanyaku menawar ikannya.


Beliau memberikan isyarat melalui tangannya. Jari-jarinya diacungkan dari tangannya sebanyak delapan jari, sembari memberikan senyum. Aku jadi terharu. Isyaratnya menunjukkan harga delapan ribu rupiah. Dan langsung ku bayar tanpa ada tawar menawar lagi, seperti biasa yang aku lakukan jika membeli di penjual lain. Setelah itu aku meninggalkannya dengan ucapan terima kasih. Dibalasnya dengan anggukan dan senyuman lagi.


Mungkin umurnya 70 tahun, jika dilihat dari keriput wajahnya. Hebat. Masih mau mencari nafkah disaat-saat seharusnya dia menikmati masa tuanya. Sambil berjalan, berpikir, bergumam, tiba-tiba emosiku terbakar, ketika aku berpikir, “Kemana ya anaknya? Bukankah seharusnya anaknya sudah bisa membantu orang tuanya untuk hidup lebih layak?”, tanyaku dalam hati. Seketika aku langsung percaya pada bisikan seorang tukang kelapa parut kemarin, bahwa anak-anaknya pergi merantau, tapi tidak ada yang pulang. “Dasar anak kurang ajar!”, geramku dalam hati.


Hari-hari berikutnya, aku selalu membeli ikan dari nenek itu. Sehingga akhirnya aku pun dikenalnya dengan baik. Tiba-tiba saja ikan yang biasa aku beli dengan harga tertentu, diturunkannya. Sebenarnya aku ingin membayarnya dengan harga biasa, karena itu juga sudah murah. Tapi aku harus menerima kebaikan itu darinya. Aku yakin setiap manusia ingin berbuat baik kepada sesama manusia, dan aku memberikan kesempatan itu untuknya.


***


Siang ini, cuaca matahari bersinar terik. Panas. Seakan-akan memaksa kita untuk tetap berada di rumah. Adanya tuntutan pekerjaan membuat ku tidak goyah untuk melangkahkan kaki menuju pasar untuk membeli bahan makanan seperti biasa.


Sesampainya di pasar, siang ini memang bukan siang yang biasa. Tidak seperti yang ku harapkan, nenek penjual ikan itu belum pulang dan masih duduk di tempatnya berjualan pagi tadi, sama seperti dahulu. Padahal semenjak aku membeli ikannya, biasanya dia sudah tidak terlihat lagi di siang hari saat aku ke pasar. Namun, setelah berjalan mendekatinya, aku semakin bingung. Ikan di baskomnya sudah habis, “tapi apa yang ditunggunya?”, tanyaku dalam batin. Walaupun rasa ingin tahu ku kembali muncul, aku hanya bisa melewati dan menyapanya dengan senyuman, lagi pula aku tidak mungkin mendapatkan jawaban darinya jika aku bertanya.


“Pak, si ibu itu kayanya mau bicara sama bapak”, seru penjual pertama yang aku kunjungi. Aku pun menoleh kebelakang, dan ternyata yang dimaksud penjual itu adalah si nenek penjual ikan yang pernah kami bicarakan dulu. Dia mengikutiku. Aku pun menghampirinya yang berdiri kira-kira 5 meter dibelakang ku.


Dia memberikan secarik kertas yang dilipatnya rapi. Rupanya dia menuliskan sesuatu untuk ku.

“Nak, bisa tolong ibu sebentar”, itu tulisnya.


“Baik bu, apa yang bisa saya bantu?”, tanyaku.


Dia memberikan isyarat kepadaku untuk mengikutinya. Dan akhirnya kami pun berjalan tanpa aku tahu menuju kemana. Perjalanan kami ditempuh dengan kaki, ditambah lagi siang yang sangat terik ini. Peluh bercucuran, tapi hatiku mengukuhkan untuk membantu nenek ini. Jarak yang kami tempuh cukup jauh, kira-kira 1,5 kilo meter sudah berlalu. Setelah aku berpikir mengenal arah tujuan kami, ternyata mengarah ke kampung kota dekat Pelabuhan Sambas. “Oh, mungkin aku diajak ke rumahnya”, tebakku dalam hati.


Benar saja, akhirnya kami sampailah di depan rumahnya yang berada di dalam kampung kota. Kampung-kampung kota seperti ini biasanya berada di dekat pelabuhan. Gang-gang didalamnya berliku-liku, sempit, agak gelap, sehingga jika kita tidak terbiasa datang ke kampung ini, mungkin kita akan tersesat. Salah satu kelebihan dari kampung ini, adalah tidak memiliki batas pengembangan. Rumah-rumah disini sudah menutupi pantai dan pembangunan rumah-rumah juga sudah di atas laut. Makanya aku mengatakan tidak ada batas dari kampung ini, lautan masih luas untuk ditempati. Rumah dibangun di atas lautan dengan pancang-pancang kayu hingga dasar lautan. Sebagian besar dari mereka yang hidup disini adalah anggota kru kapal-kapal pukat punya orang lain. Kampung ini bisa saja menjadi menarik, jika dilakukan penataan dan kemauan masyarakat untuk menjaga lingkungannya.

Beratap seng yang sudah berkarat, dinding dari papan kayu. Ketika memasukin rumah pun, ternyata seng itu sudah bolong-bolong, terlihat dari cahaya matahari yang masuk. Lantai ruangan yang dari plester semen yang sudah retak-retak dan beberapa sudah berlubang, dihiasi cahaya polkadot matahari dari bolongan seng. Bagaikan memijak langit yang penuh bintang. Sungguh rumah nenek ini kurang layak untuk dihuni. Aku dipersilahkannya untuk duduk di atas kursi kayu yang juga sudah lapuk. “Ya Tuhan, nenek itu hidup sendiri di dalam rumah ini”, aduku dalam hati.


Ketika nenek itu sedang mengambil sesuatu di dalam kamarnya, mata ku tertarik pada sebuah foto usang yang dipajang di dinding kayunya. Tanpa sadar, aku berdiri dan mendekati foto itu. Terlihat ada suami beliau yang mungkin sudah meninggal, dan dua anak lelaki yang saat itu mungkin berumur 15 dan 12 tahun. Foto hitam putih itu bergaya formal seperti orang dulu, kedua orang tuanya duduk di kursi dan anak-anaknya berdiri, satu disamping ayahnya dan satu lagi disamping ibunya, yang kecil di samping ibunya.


Beliau kembali ke ruang tempat aku duduk tadi dengan membawa secarik kertas dan pensil. Aku tahu, beliau ingin menuliskan sesuatu kepadaku. Setelah beberapa saat aku menunggunya untuk menuliskan sesuatu, aku pun membacanya, “ Tolong kirimkan surat saya kepada anak saya.”


Beliau pun memberikan sebuah surat usang dan surat baru. Dia menunjukkan alamat yang ada di surat usang untuk dituliskan di atas surat baru itu. Sekilas aku membaca surat usang itu, ternyata surat itu sudah berusia 10 tahun dan berasal dari kedua anaknya yang pergi merantau itu. Aku jadi kurang yakin apakah alamat tersebut masih ada atau tidak. Tapi ketika aku melihat matanya yang menunjukkan keyakinannya, aku pun menuliskannya di atas surat baru yang akan dikirimkannya itu. Tiba-tiba tangannya menahan ketika aku berniat mengelem surat agar suratnya tertutup rapat. Surat baru itu diambilnya dan dimasukkannya beberapa lembar uang seratus ribuan. Kejadian itu membuatku terharu dan air mataku sudah tidak bisa ditahan lagi untuk tumpah.


Seketika aku terbayang bagaimana kerja keras beliau setiap hari dari pagi hingga siang hari. Ditambah lagi usianya yang sudah renta. Dan ternyata uang hasil jerih payahnya diberikan kepada anak-anaknya yang pergi merantau dan tidak pernah kembali. Sungguh rasa sayang seorang ibu kepada anaknya yang tidak ada habis-habisnya. Bahkan terhadap anak yang sudah melupakannya. Kegeramanku muncul kembali, “Dasar anak kurang ajar! Lihatlah ibu kalian sekarang!” teriakku dalam hati.


Sepulang dari rumah nenek itu, aku kembali ke rumahku dahulu sebelum mengirimkannya lewat kantor pos. Aku juga menuliskan surat dengan alamat yang sama, niatku menyadarkan anak-anak beliau tentang bagaimana keadaan ibu mereka sekarang dan menyuruh mereka untuk pulang. Aku juga menuliskan nomor kontakku agar memudahkan komunikasi jika mereka sadar.


***


Satu bulan telah berlalu, kehidupan seperti biasanya juga berlangsung. Tampaknya surat itu tidak berpengaruh apa-apa, karena nenek penjual ikan itu masih dengan rutinitasnya. Setiap hari beliau menanyakan dengan isyaratnya bagaimana keadaan anak-anaknya, adakah surat balasan dari mereka. Setiap hari pula aku jawab, “Sabar bu, mungkin suratnya belum sampai.”


Jumat, pukul 9 lewat 3 menit, tiba-tiba teleponku berdering. “Halo, dengan Bapak Zulkarnain?”, tanyanya.


“Iya saya sendiri.”


“Maaf pak, kami dari perusahan PT. Jayaeksport dengan berat hati kami mengabarkan bahwa orang yang seharusnya menerima surat bapak sudah tidak ada lagi di kantor kami. Kami mendapatkan nomor kontak bapak dari surat yang bapak kirim ke kantor kami”, jelasnya panjang lebar.


“Kalau boleh tahu, mereka pindah kemana ya bu? Ada alamatnya?”, tanyaku penasaran.


“Mereka ga pindah kemana-mana pak, hanya saja saya juga menyampaikan turut berduka cita karena mereka meninggal saat menjadi kru kapal kami untuk ekspor barang. Kira-kira 5 tahun yang lalu. Dan kami juga tidak bisa menemukan alamat kemana kami harus memberikan kabar duka ini.”


“Innalillahi wa innailaihi roji’un”, ucapku lirih mendengarkan kabar duka ini.


Sesaat waktu terasa berhenti, aku bingung harus menjawab apa nanti ketika nenek itu bertanya lagi. Tidak terdengar lagi suara dibalik telepon yang menyahut. Hanya terbayang senyum wajahnya yang penuh harapan. Apakah akan terhapus bersama hasrat hidupnya? Haruskah aku membohonginya?


“Halo..”

“Halo..” “trek” bunyi telpon ditutup.


***

Sibolga, 11 Desember 2011.

Alma Tegar Rahman Nasution

235 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page