10 Juni 2021
Sayang sekali aku tidak bisa menceritakan pengalaman ku ini kepada orang-orang di sekitarku. Namun, akhirnya aku bisa tersenyum dan menjadi manusia yang menurutku baik. Begitulah. Hal ini jika dibandingkan dengan masa mudaku yang tidak aku gunakan sebaik mungkin. Waktuku terbuang sia-sia.
Saat itu umurku masih 25 tahun. Kurang lebih sekitar itu, aku kurang begitu yakin. Hidupku tanpa tujuan yang jelas. Tapi aku menikmatinya. Jika ada yang menanyakan cita-cita ku mau jadi apa nantinya, aku selalu menjawab, “ga pernah kepikiran, lihat besok aja, hahaha”. Aku menjawabnya dengan santai. Bukan berarti aku tidak tahu tentang kerasnya dunia ini. Waktuku juga digunakan untuk bekerja serabutan demi sekedar memenuhi kebutuhan hidupku, biaya senang-senangku, dan biaya-biaya lainnya. Walaupun hanya lulusan SMA, kemampuanku dalam pergaulan membuatku bisa melewati hidup cukup mudah.

Bertahun-tahun aku hidup dengan pola itu, walaupun terkesan monoton, aku tetap menikmatinya karena perjalanan hidupku selalu berubah-ubah setiap saatnya. Lagi pula aku hidup sendiri. Kedua orang tuaku sudah meningggal dan adik perempuanku satu-satunya sudah menjadi istri orang lain. Aku dengar suaminya punya usaha pergudangan di pinggir kota. Berarti adikku sudah kaya, tapi aku tidak mau mengganggu kehidupannya. Bahkan kami pun sudah bertahun-tahun tidak pernah bertemu, atau hanya sekedar bertukar kabar melalui telepon. Biarlah dia menikmati kehidupannya.
Aku ingat sore yang cukup mendung itu. Duduk di atas trotoar karena kelelahan setelah mengangkat barang-barang toko grosir tempat aku bekerja saat itu. Menikmati sejuknya angin menghembus keringatku. Kendaraan lalu lalang di depanku, aku tidak peduli. “Sore ini nikmat juga”, gumamku dalam hati. Apalagi ditemani sebatang rokok dan seplastik minuman berenergi dingin. Aku lupa merknya. Senyumku tidak berhenti semenjak mendudukkan tubuhku.
“Jus, ngapain kau duduk disitu? Kaya ninggalin anak istri aja, ahaha”, sapa temanku Agus yang kemudian duduk di sampingku. Kami sesama kuli angkut barang dan aku cukup mengenalnya.
“Hahaha. Iya nih, istri ku ada lima anakku ada 11. Ntah gimana nasibnya?”, balasku becanda.
“Jusri,, jusri. Umur sudah 35 tahun kok belum menikah juga. Terlalu nikmat kayanya hidup sendiri jus”, kalimatnya membuat aku sedikit malu.
“Gimana mau nikah bang? Hidup ku sendiri aja masih acak-acakan gini. Pernah kepikiran sih, tapi langsung buyar gara-gara suara perut”, alasanku.
“Halah! Bilang aja buyar gara-gara diajak main sama temen-temen kau yang di terminal itu. Gimana kau mau nikah kalau uangmu habis judi terus”, nasihatnya. Aku hanya bisa tersenyum kecil tidak berani untuk membantah kata-katanya. Agus lebih tua dari ku, dia memiliki seorang istri dan dua anak. Aku salut dengan kerja kerasnya. Pagi sampai siang bekerja bersamaku sebagai kuli angkut, malam hari dia buka warung kopi di depan rumahnya.
“Iya nih, bang. Tau dah. Ntar aja itu”, balasku singkat agar pembicaraan ini selesai dan ganti topik.
Dia cuma tersenyum dengan kalimat terakhirku itu. Berdiri dan menepuk pundakku.
Percakapan itu biasa saja. Aku pun menanggapinya tidak begitu serius karena orang-orang di sekitarku juga sering menanyakan hal serupa. Jadi aku sudah terbiasa. Namun, seandainya saja aku menanggapi nasihat Agus saat itu, mungkin saja kehidupanku selanjutnya tidak semakin memburuk.
***
Motivasiku hilang. Semua yang ada di dunia ini hampir semua sudah kucoba. Aku bekerja seadanya. Tempat tinggalku di sebuah rumah yang aku sewa. Rumah itu hanya berdinding triplek bekas beratap seng dan berukuran 2x3 meter saja. Kalau mau ke kamar mandi, di kampung itu untungnya ada kamar mandi bersama. Terkadang aku masih merasa beruntung, jika melihat tetanggaku. Dengan rumah yang berukuran sama dengan rumahku, lima orang anggota keluarga mereka harus mau hidup sempit sepeti itu. Suasana di sini kumuh.
Kepala empat menuju kepala lima. Aku masih hidup. Tuhan belum mencabut nyawaku. Dan pengalaman hidupku memang tidak mengijikanku kelaparan berlama-lama. Seperti yang ku bilang di awal tadi, aku memiliki kemampuan pergaulan yang tinggi. Teman-temanku dulu masih sering menemuiku dan mengajakku sekedar bertemu sambil ditraktir makan. Ada juga yang menawarkan pekerjaan kepada ku.
Akhir bulan ini lagi-lagi aku beruntung, ada teman masa susah ku dulu ingin bertemu denganku. Aku pun menyetujuinya. Badrun namanya. Umur kami sebaya, tetapi lelaki berdarah minang ini memang memiliki garis tangan yang beruntung. Saat umur kami menginjak akhir 20 tahunan, nasib kami sama. Pelayan di restoran padang terminal utama kota. Namun sekarang dia sudah memiliki restoran padang sendiri. Itu yang ku tahu dari kabar-kabar selintas. “Hebat”, pikirku.
Malam itu kami sepakat untuk berjumpa di restoran padang tempat kami dulu bekerja. “Sekalian bernostalgia dengan kenangan lama”, begitu sms-nya. Sedikit canggung juga menginjakkan kaki di restoran ini. Dulu restoran ini kecil, dan pelanggannya hanya supir dan orang-orang yang datang ke terminal. Seraya terminal kota kami berubah menjadi lebih bagus, rupanya restoran ini pun juga berkembang menjadi restoran yang besar. Aku sengaja duduk di paling pinggir ruang makan restoran ini, tepatnya di dekat jendela agar bisa melihat teman lama yang akan aku jumpai. Detik menit pun berlalu. Lama juga aku menunggunya. Bukan karena dia terlambat, hanya saja aku datang lebih cepat. Tempat kerjaku yang sekarang lebih dekat ke restoran ini dari pada ke rumah ku. Jadi untuk menghemat tenaga dan uang, aku putuskan langsung ke restoran ini saja. “Menunggu setengah jam saja tidak apa-apalah”, pikirku.
“Maaf, mau makan pak? Minumnya apa?”, suara pelayan mengagetkan ku.
“Oh, nanti saja. Saya lagi menunggu teman saya. Minta air putih aja dek”, minta ku. Aku tidak berani untuk memesan apapun sebelum temanku itu benar-benar datang nanti.
“Mana ada uang ku untuk makan disini”, pikirku dalam hati.
“Assalamu’alaikum Jusri”, salam seorang pria bertubuh gempal, berkumis. Aku kurang mengenalinya.
“Ini aku. Badrun. Dari matamu, kayanya kamu ga kenal aku lagi ya? Hahaha”, gelaknya. Aku terkejut bahwa dia sudah berubah dari yang ku kenal dulu. Sekaligus aku juga heran, kenapa aku tidak melihat dia datang dan masuk ke restoran ini. Aku menyalamnya, tapi aku tidak banyak berbicara apa-apa. Cuma tersenyum.
“Hahaha, kau kaget ya? Begini lah aku sekarang Jus”, lanjutnya sambil menarik kursi dan duduk. “Alhamdullilah, restoran ini sudah menjadi milikku, aku beli dari yang punya 5 tahun yang lalu, jadi kau mau makan apapun juga boleh. Ga usah sungkan-sungkan. Hahaha. Apa kabar kau Jus?”, tanyanya.
Sambil makan, perbincangan kami pun panjang. Di mulai dari saling berbagi kabar, bernostalgia masa-masa susah, hingga berbagi cerita tentang bagaimana kami memandang kehidupan ini. Ajaibnya, setelah pertemuan itu, akhirnya aku pun menanggapi serius tentang apa yang kami bicarakan tadi.
Tidak ada kata terlambat. “Aku harus menjadi manusia di bumi ini”, aku bertekad malam itu sebelum aku memejamkan mata. Setelah berfikir panjang menatap langit-langti seng kamarku, aku menilai bahwa kehidupanku yang dulu seperti binatang yang menumpang hidup di bumi ini. Namun, mulai selanjutnya aku harus berusaha menjadi manusia yang memang diturunkan untuk bumi ini. Tentunya sesuai dengan kemampuanku saat ini.
Sayang sekali aku tidak bisa menceritakan pengalaman ku itu ke anak cucu ku. “Memang ga punya, haha”, gelakku dalam hati.
***
Aku memulai awal bulan ini, bulan yang tidak sama seperti bulan-bulan yang lalu. Pagi yang sejuk membuatku cukup nyaman untuk berpikir. “Apa yang harus ku lakukan?”, gumamku. Segelas kopi menemani ku duduk di depan pintu rumah. Terlihat tetangga ku sedang beberes rumah, anak-anaknya pamit pergi ke sekolah. Semakin jauh benakku berpikir, tanpa sadar aku pun berjalan mengelilingi kampung tempat aku tinggal dengan gelas kopi yang masih di tangan. Menyapa setiap orang yang berpapasan dengan ku. Selanjutnya menyapa kampung yang seolah-olah ingin berbicara dengan ku. Dan akhirnya aku menemukan apa yang harus aku lakukan. Kuatkan tekad. Apapun itu yang dikatakan orang-orang, aku harus berjalan dengan pilihan yang aku yakini.
“Setiap hari aku akan membersihkan sampah di kampung ini”, ucapku lirih dengan yakin.
Bergegas aku kembali ke rumah untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Hanya bermodalkan keranjang plastik, sarung tangan, dan topi, aku pun keluar dan mulai mengambil sampah pertamaku. Pilihan ini aku lakukan karena melihat kampung ini tidak memiliki petugas pengambil sampah yang dikoordinasikan kepala kampung atau organisasi masyarakat disini. Aku pun melakukan ini tidak mengharapkan apapun dari warga kampung, hal ini memang dengan keinginanku untuk berguna demi lingkunganku. Hanya aku yang tahu dan ku berusaha melakukannya dengan ikhlas.
Mata orang-orang kampung terlihat bertanya-tanya atas apa yang ku lakukan. Ada mata yang khawatir kalau akan ada pemungutan biaya kebersihan, tapi cukup banyak juga memberikan senyumannya. Menambah semangatku. Hingga bayangan matahari memanjang di kampung ini, rasanya tubuhku lelah sekali. Perutku hanya teroles kopi tadi pagi.
Rumahku tidak memiliki jam dinding, sehingga aku tidak tahu pasti pukul berapa pagi ini aku terbangun. Yang ku tahu udaranya masih sejuk sama seperti pagi kemarin, namun aku tidak menyaksikan anak-anak tetanggaku pergi sekolah. Berati aku sangat kelelahan kemarin hingga bangun kesiangan.
“Pak, ini ada sedikit rezeki dari kami”, tiba-tiba kepala keluarga tetanggaku itu menghampiriku dengan sebuah nasi bungkus di tangannya. Aku terharu.
“Alhamdulillah, terima kasih pak. Kebetulan saya juga belum makan”, terima kasihku kepadanya.
“Hari ini membersihkan sampah kampung lagi pak? Kenapa tiba-tiba melakukan itu pak?”, tanyanya.
“Oh.. ini memang sudah aku janjikan dalam hatiku pak. Makanya harus ku lakukan”, jawabku singkat.
“Ooo.. gitu, selamat bekerja kalau begitu pak. Permisi”, kalimatnya mengakhiri percakapan singkat kami pagi itu. Melihat kernyit di dahinya, aku tahu dia tidak mengerti apa yang ku maksud dengan janjiku itu. Tidak apa-apalah, tapi aku sangat terharu bahwa baru kali ini aku sangat bersyukur mendapatkan sebuah nasi bungkus dari tentanggaku. Rejeki memang datang dari Tuhan melalui apapun itu yang dikehendaki-Nya.

Berhari-hari aku berjalan keliling kampung, keluar masuk gang-gang yang sempit, mengumpulkan sampah yang bertebaran sembarangan di setiap sudut ruang di kampung ini. Walaupun tubuhku sudah tua dan mudah lelah, tapi semangat justru semakin membara membakar energi untuk langkah ku tanpa batas. Aku merasa menjadi manusia seutuhnya. Bukan hanya kampung ini, lingkungan di luar kampungku pun mulai aku bersihkan dari sampah-sampahnya. Kali ini ditemani gerobak sampah yang aku pinjam dari balai kampung. Sayang sekali gerobak itu hanya dipakai saat kerja bakti saja. Terkadang sedih juga jika melihat tempat yang sudah dibersihkan, kotor kembali oleh orang-orang yang tidak tahu seharusnya membuah sampah itu dimana.
Umurku masih ada. Tahun-tahun berikutnya berlalu, hingga usiaku sudah melewati 60 tahun. Aku masih dengan janjiku yang dulu. Namun, kecepatan dan kelincahan tubuhku sudah berkurang. Kebutuhan hidupku hanya berasal dari sumbangan para tetanggaku, terkadang ada juga orang yang membeli sampahku, “untuk daur ulang”, kata mereka. Aku kurang mengerti itu, tapi ku biarkan saja mereka membelinya. Selama perjalanan panjang ini terkadang aku sakit, mungkin karena setiap hari berteman dengan sampah. Namun, kesembuhan dan kesehatan dari Yang Maha Kuasa masih menyertaiku.
Hari itu aku lupa tepatnya hari apa. Tapi yang ku ingat adalah terik mentari hari itu panas membakar tubuhku. Langkah ku gontai, tapi kupaksa dengan semangat ku. Gerobakku sudah penuh dengan sampah dan tujuan perjalananku menuju tempat pembuangan sampah akhir. Lokasinya berada di pinggir kota. Disediakan oleh pemerintah untuk menampung seluruh sampah di kota ini. Luas. Sejauh mata memandang, yang ada hanyalah sampah dan satu dua pemulung yang sedang mengais sampah. Katanya mencari sampah yang bisa di daur ulang. Aku ingin mengosongkan gerobakku di tempat itu.
Sampai juga di tempat para sampah berkumpul dengan teman-temannya se-kota. Ngilu tubuhku semakin ku rasakan di setiap sendi dan otot ku, tiba-tiba pandangan mataku gelap. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Berusaha membuka mata, namun hanya kegelapan yang kusaksikan di siang itu. Berusaha bangun kembali, tapi aku tidak kuat. Tubuhku jatuh dan berbaur dengan sampah-sampah se-kota. Aku sendiri.
Kemudian aku tersadar, tubuhku dingin. Aku pun tersenyum. Langkah ku diakhiri dengan pilihan hidup yang ku yakini. Ikhlas. “Walaupun sebentar, semoga aku sudah cukup berguna untuk lingkunganku. Amin”, doa terakhirku dalam hati. Rupanya aku sudah mati, kembali pada-Nya. Itulah sebabnya aku tidak bisa menceritakan pengalamanku ini ke orang lain. Indah.
***
Sibolga, 14 Desember 2011
Alma Tegar Rahman Nasution
Comments