[SINOPSIS]
Beratus tahun yang lalu, di perairan Sibolga dan Tapian Nauli, seorang saudagar Bugis berlayar ke Pelabuhan Poncan bersama awak kapalnya. Namun, saat hendak berlabuh, matanya menangkap kilauan cahaya dari kejauhan. Cahaya itu membangkitkan ingatan akan ilmu yang pernah ia pelajari—tanda adanya besi bertuah yang membawa keberuntungan. Tanpa ragu, ia memerintahkan nakhoda untuk mengubah haluan menuju daratan Tapian Nauli.
Tiba di tepian kampung Pagadungan, saudagar Bugis menurunkan sampannya dan mendayung seorang diri ke darat. Malam itu gelap gulita, namun tekadnya bulat untuk menemukan sumber cahaya tersebut. Ia menyusuri hutan, melewati semak belukar dan menghadapi bahaya dari binatang buas. Namun, rasa takutnya terkalahkan oleh hasratnya untuk memperoleh besi bertuah itu.

Setelah perjalanan yang panjang, ia menemukan sebuah gubuk tua yang hampir roboh. Dari celah-celah kayunya, cahaya samar tampak berkilauan. Dengan penuh harapan, ia mengetuk pintu dan memberi salam. Seorang kakek tua, penghuni gubuk itu menyambutnya dengan heran. Saudagar Bugis mengungkapkan keinginannya untuk membeli gubuk itu beserta seluruh isinya, berapa pun harganya. Kakek, yang menganggap tawaran itu aneh, menyebutkan harga seratus keping emas—jumlah yang sangat besar. Tanpa ragu, saudagar Bugis menyanggupinya, bahkan menambah sepuluh keping emas jika kakek bersedia membantu membongkar gubuk tersebut.
Mereka pun mulai membongkar gubuk. Ketika salah satu tiang utama diangkat, tampaklah sebuah paku besi kecil yang bersinar terang. Saudagar Bugis menggenggamnya erat, membungkusnya dengan kain, dan meninggalkan gubuk itu dengan penuh kemenangan. Ia kembali ke kapalnya tanpa peduli lagi pada Pelabuhan Poncan. Kini, yang terpenting baginya adalah paku besi bertuah itu.
Di tengah pelayaran, ia mulai merawat paku besi dengan ritual khusus—mencucinya dengan air bunga tujuh rupa, menggosoknya dengan kemenyan putih, dan melumurinya dengan minyak zafaron dari Mesir. Namun, saat ia tengah mengagumi cahayanya, angin kencang tiba-tiba bertiup. Ombak besar mengguncang kapal, dan tanpa sengaja, paku besi itu terlepas dari genggamannya, jatuh ke laut di antara muara Sungai Badiri dan Sungai Lumut.

Wajahnya pucat pasi. Ia segera memerintahkan anak buahnya menyelam untuk mengambilnya. Namun, tak satu pun yang berani, karena muara itu dikenal sebagai sarang buaya. Saudagar Bugis diliputi amarah dan keputusasaan. Di saat itulah badai besar datang menerjang. Gelombang dahsyat menghancurkan kapal, menenggelamkan seluruh awak, termasuk saudagar Bugis. Tak ada yang selamat.
Meski sang saudagar telah tiada, legenda paku besi bertuah tetap hidup. Hingga kini, pada malam-malam tertentu, nelayan dan juru mudi sering melihat kilauan cahaya di antara dua muara, terutama saat badai besar melanda. Cahaya itu, konon, berasal dari paku besi sang saudagar Bugis, menjadi tanda bagi para pelaut menuju daratan Tapian Nauli dan Teluk Sibolga.
---
Penyunting: Alma Tegar
Ilustrator: Deandra Marvela
Naskah cerita ini telah melalui proses Lokakarya Kesepakatan Para Tokoh Masyarakat dan Budayawan Sibolga-Tapteng pada 2023
Baca lebih lengkap dalam Buku Antologi Cerita Rakyat Pasisi Sibolga - Tapanuli Tengah
Comments