PESISIR BERTUTUR: MENYUARAKAN JEJAK KEBUDAYAAN TAPIAN NAULI DAN KOMUNITAS PENGGIAT DI WEBINAR PANSUMNET
- FKK Sibolga-Tapteng
- Nov 1
- 3 min read
01 November 2025
Komunitas pelestari budaya PanSumNet (Jaringan Pelestarian Pusaka di Sumatera) kembali menggelar diskusi bulanan ke-61 dengan tema “Pasisi, Pesisir Bertutur: Jejak Kebudayaan di Tapian Nauli, Pantai Barat Sumatera Utara.” Webinar ini menjadi ruang silaturahmi, pembelajaran, dan pertukaran gagasan tentang upaya pelestarian kebudayaan lokal, khususnya warisan budaya etnis Pasisir (Pasisi) di wilayah Sibolga dan Tapanuli Tengah.
Acara ini dibuka dengan pengantar dari Beranda Warisan Sumatera yang menjelaskan kiprah PanSumNet sejak 1998 sebagai wadah kolaborasi para pegiat warisan budaya se-Sumatera. Hingga kini, jaringan nirlaba ini menaungi lebih dari 100 individu dan organisasi yang bergerak di bidang pelestarian budaya benda maupun tak benda. Sejak pandemi, kegiatan diskusi daring menjadi cara baru menjaga komunikasi antaranggota sekaligus memperluas jangkauan edukasi budaya.

Pada edisi ke-61 ini, PanSumNet menghadirkan tiga narasumber utama yang masing-masing memberi perspektif berbeda tentang sejarah, budaya, dan praktik pelestarian di daerah pesisir. Moderator diskusi adalah Irfan Arhamsyah Sihotang, penyiar RRI Sibolga sekaligus penggerak komunitas seni di kota tersebut. Beliau membuka sesi dengan sapaan khas “Horas, Yahobu, Menjua-jua, Njua-jua, Oi dusanak!”—simbol keramahan masyarakat Pesisir dan Sibolga yang berbilang kaum.
Narasumber pertama, Ahmad Naufal, penggiat seni dan budaya sekaligus manajer Penginapan Sari Agung Sibolga, memaparkan asal-usul dan perjalanan panjang etnis Pasisir. Dalam paparannya, ia menegaskan bahwa suku Pasisi telah diakui dan dibuktikan secara formal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2023 tentang Provinsi Sumatera Utara. Wilayah kebudayaan mereka meliputi Kota Sibolga dan Kabupaten Tapanuli Tengah, dua daerah yang sejak lama menjadi simpul perdagangan dan peradaban di pesisir barat.
Menurut Naufal, akar sejarah Pasisir berawal dari kejayaan Kerajaan Barus, pelabuhan internasional yang dikenal sejak abad ke-7. Dari sana berkembang jaringan budaya dan bahasa yang menyatukan masyarakat dari Singkil (Aceh) hingga Mandailing Natal. Ia juga menyoroti kekayaan adat “Pasisi Sumando,” hasil akulturasi antara Melayu, Minang, dan Batak yang menjadi simbol persatuan masyarakat multietnis Sibolga. Namun, berbagai warisan budaya kini menghadapi tantangan serius, seperti menurunnya minat generasi muda, mulai kurang populernya kuliner dan seni tradisional, serta arsitektur lokal yang tergerus modernisasi. Naufal juga menyampaikan bahwa Kota Sibolga dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada awal abad ke-19 dengan ambisi menjadikannya ibukota Keresidenan Tapanuli – Paris van Tapanaoeli.
Paparan kedua disampaikan oleh Alma Tegar Rahman Nasution, arsitek dan perencana pariwisata yang juga Ketua Forum Komunitas Kreatif (FKK) Sibolga–Tapteng. Ia menceritakan lahirnya FKK pada 2019, berawal dari kolaborasi anak muda yang merayakan gerhana matahari cincin di Sibolga. Sejak itu, FKK tumbuh menjadi wadah lintas bidang yang menggabungkan pelestarian budaya dan alam dengan pengembangan ekraf dan pariwiata. Berbagai program seperti Festival Mangure Lawik, Pagelaran Seni Budaya, Sibolga Creative Expo, hingga pemetaan digital sumber daya budaya dilakukan untuk menghidupkan kembali semangat kreatif masyarakat pesisir.
Menurut Alma, FKK berperan sebagai “hub” antara pemerintah, akademisi, pelaku usaha, dan komunitas lokal dalam membangun ekosistem pariwisata berbasis budaya. Ia menekankan pentingnya keberlanjutan (sustainability), kolaborasi, dan inovasi agar pelestarian budaya tidak berhenti pada nostalgia, tetapi juga berkontribusi terhadap ekonomi kreatif.
Sesi ketiga diisi oleh Priska Elvira Devi Yanti Halawa, fasilitator pengembangan komunitas, Ketua Pokdarwis dan Ketua LPM Kelurahan Pancuran Dewa. Ia memaparkan secara umum terkait upaya FKK Sibolga Tapteng dalam program pelestarian budaya dan secara spesifik dan mendalam tentang transformasi Festival Mangure Lawik, ritual tradisional pesisir yang dulunya dikenal dengan prosesi melarung kepala kerbau ke laut. Kini, melalui pendekatan modern dan dialog lintas agama, festival tersebut dihidupkan kembali tanpa unsur syirik—dengan simbol baru berupa Rabo Gadang (rangkaian jaring berbentuk karang) yang ditanam di laut sebagai bagian dari aksi restorasi terumbu karang.
Devi menjelaskan bahwa Mangure Lawik tidak sekadar upacara adat, melainkan bentuk syukur masyarakat pesisir kepada Tuhan atas rezeki laut, sekaligus kampanye pelestarian ekosistem bahari. Dalam penyelenggaraannya, festival ini melibatkan nelayan, sekolah, UMKM, serta berbagai pihak lain yang menjadikannya perayaan budaya sekaligus momentum edukatif dan ekonomi bagi warga.
Setelah pemaparan, dilakukan sesi diskusi dengan berbagai pertanyaan dari peserta webinar baik itu terkait informasi detail terkait sejarah di Sibolga Tapteng maupun saran-saran tentang pengembangan program pelestarian kebudayaan. Hasil refleksi bahwa pelestarian budaya pesisir membutuhkan kolaborasi lintas generasi dan sektor. Sejarah, adat, seni, dan lingkungan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Melalui forum seperti PanSumNet dan inisiatif komunitas seperti FKK Sibolga Tapteng, upaya menjaga identitas budaya di Tapian Nauli menemukan bentuk barunya, bukan sekadar mengenang masa lalu, tetapi menghidupkannya kembali dengan semangat zaman.
Rekaman Diskusi Bulanan PanSumNet ini dapat ditonton melalui tautan berikut.
(ATR)













Comments