top of page
  • Writer's pictureFKK Sibolga-Tapteng

KOLABORA(K)SI SEBAGAI UPAYA ‘PERCEPATAN’ SIBOLGA TAPTENG SEBAGAI DESTINASI PARIWISATA

31 Januari 2023


Perkembangan pariwisata di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir ini menjadi sektor yang diunggulkan, bahkan menjadi visi pengembangan di beberapa daerah. Hal ini diakibatkan oleh keyakinan bahwa pariwisata dapat meningkatkan perekonomian daerah sekaligus menjadi media ‘eksistensi’ sebuah daerah untuk skala nasional bahkan internasional. Selain Bali, Yogyakarta, dan beberapa destinasi lain yang telah berkembang sebelumnya, banyak daerah baru yang muncul sebagai destinasi pariwisata yang menarik, antara lain Labuan Bajo, Banyuwangi, Jember, dan lain sebagainya. Pertanyaannya adalah apa yang membuat mereka berhasil membangun dengan cepat? Dan apakah perlu cepat-cepat?

Keunikan Kampung Nelayan Ketapang Kota Sibolga


Seharusnya ini menjadi pertanyaan yang jawabannya dapat menginspirasi dan menjadi pelajaran bagi daerah lain yang ingin sama berkembangnya. Banyak juga pelajaran di dunia melalui teori-teori yang dikuasai oleh konsultan yang dapat menjadi dasar program pembangunan. Tetapi semua itu jelas tidak mudah, butuh komitmen dan kesepahaman bersama dari seluruh pemangku kepentingan.


Selain itu, "kecepatan' yang dimaksud dalam pertanyaan di atas, bukan berarti pembangunan tersebut harus masif dan akselaratif dalam waktu singkat, melainkan program yang dilakukan oleh pemangku kepentingan benar-benar yang memiliki dampak positif dan konstruktif terhadap pariwisata. Justru pembangunan itu harus bertahap dan secara terus menerus memperhatikan dampaknya melalui pemantauan dan evaluasi, sehingga dapat dipastikan berkelanjutan.


Pra-syarat ini menjadi tantangan yang perlu disiapkan oleh Sibolga Tapteng jika ingin menjadi destinasi pariwisata yang berkualitas dan berkelanjutan. Apalagi mengingat kondisi pariwisata Sibolga yang sedang mengalami tren negatif sebesar -11,41%, seperti yang telah diulas cukup detail pada tulisan sebelumnya, termasuk kontribusi sektor pariwisata dalam perekonomian regional. Cara-cara dan rutinitas lama atau business as usual sudah tidak perlu dilanjutkan lagi karena terbukti tidak efektif.


Sebelum melanjutkan pembahasan yang lebih dalam, atau bahkan melakukan sesuatu ‘atas nama’ pariwisata, mari kita pahami dulu definisi resmi yang dicantumkan pada UU No. 10 / 2009 tentang Kepariwisataan, yaitu:

  • Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.

  • Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah,dan Pemerintah Daerah.

  • Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha.

Secara ilustratif dapat digambarkan oleh diagram berikut.

Terminologi kepariwisataan mungkin jarang terdengar dan digunakan dalam diskusi pengembangan destinasi pariwisata dimana memiliki empat pilar pembangunan, yaitu destinasi, industri, pemasaran, dan kelembagaan. Dalam definisi kata tersebut yang menjadi tekanan penting bahwa mewujudkan sektor pariwisata harus dilakukan secara multidimensi dan multidisiplin, yang artinya juga harus dilakukan secara multi-stakeholder, dimana setiap pihak memiliki peran masing-masing yang selama ini disebut sebagai pentahelix, yaitu:

  1. Pemerintah berperan sebagai regulator sekaligus berperan sebagai pengatur yang memiliki peraturan dan tanggung jawab dalam mengembangkan daerah (sektor perekonomian). Dalam konteks ini, pengembangan sektor pariwisata tidak hanya menjadi tanggung jawab Dinas Pariwisata.

  2. Bisnis (industri) berperan sebagai enabler yang merupakan entitas untuk melakukan proses bisnis dalam menciptakan nilai tambah dan mempertahankan pertumbuhan yang berkelanjutan.

  3. Akademisi (tenaga ahli) berperan sebagai konseptor, membantu merumuskan perencanaan, mendukung standarisasi proses bisnis serta keterampilan sumber daya manusia. Akademisi/tenaga ahli dalam hal ini merupakan sumber pengetahuan dengan konsep, teori-teori terbaru dan relevan. Selain kampus atau konsultan, terkadang sumber tenaga ahli juga didapatkan di dalam sebuah organisasi masyarakat non-profit.

  4. Komunitas (lembaga swadaya masyarakat/non-profit) berperan sebagai akselarator yang dalam hal ini digerakkan oleh orang-orang yang memiliki minat yang sama dan relevan dengan sektor yang berkembang, serta bertindak sebagai perantara atau menjadi penghubung antar pemangku kepentingan, termasuk masyarakat melalui berbagai aktivitasnya.

  5. Media berperan sebagai katalisator dan penyebar luas informasi dalam rangka mendukung publikasi dalam promosi dan membuat brand image.

Berdasarkan penjabaran peran masing-masing dari kelima unsur pemangku kepentingan di atas dapat dipetakan seperti apa kontribusi yang dapat dilakukan melalui sebuah mekanisme kolaborasi yang pro-aktif, dimana kami menyebutnya sebagai KolaborA(k)si. Aksi menjadi penting karena rencana dan teori tidak akan mengubah apapun tanpa aksi atau tindakan nyata dari masing-masing pihak. Seperti orang bijak yang mengatakan bahwa “Aksi tindakan yang terkecil sekalipun jauh lebih baik daripada hanya sekedar keinginan yang terbesar” dan “1000 kata-kata akan dikalahkan dengan 1 aksi nyata”.

“1000 kata-kata akan dikalahkan dengan 1 aksi nyata”

Namun aksi dari banyak sisi tidak akan efektif apabila tidak memiliki arah yang sama, bahkan terkadang berlawanan atau kontraproduktif seperti apa yang dapat disaksikan selama ini dalam pengembangan pariwisata di Indonesia. Atas nama 'pariwisata', pembangunan objek wisata justru merusak alam yang menjadi sumber daya utama, banyaknya fasilitas yang mangkrak tanpa terkelola, hilangnya identitas lokal yang malah membangun ikon yang terkenal di luar negeri, dan lain sebagainya. Maka dari itu, diperlukan pula sebuah upaya terstruktur dan terpadu untuk menyatukan arah, sehingga kolabor(a)ksi menjadi sinergis. Semua hal ini masuk dalam pilar kelembagaan dari pembangunan kepariwisataan sesuai undang-undang (lihat gambar diagram di atas).


Ulasan yang cukup teoritis ini dapat disimpulkan bahwa upaya 'percepatan' Sibolga Tapteng sebagai destinasi pariwisata harus dimulai dari pembenahan pilar kelembagaan melalui penyatuan energi dari masing-masing pemangku kepentingan. Untuk itu FKK Sibolga Tapteng memberikan beberapa rekomendasi strategis yang dapat dilakukan bersama, khususnya dukungan pemerintah sebagai regulator dan ‘pimpinan orkestra’, yaitu:

  • Membedah, meninjau, dan memperinci Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kota Sibolga yang saat ini sudah menjadi Perda Kota Sibolga No. 3 Tahun 2020, khususnya jangka pendek sebagai dasar untuk merumuskan rencana aksi terdekat. Lebih lanjut, ulasan tentang hal ini akan dibahas pada tulisan berikutnya.

  • Koordinasi dan komunikasi yang rutin melalui sebuah Forum yang terlembagakan dan diisi oleh seluruh unsur pemangku kepentingan. Di beberapa destinasi pariwisata, bentuk ini antara lain berwujud Forum Tata Kelola Pariwisata (FTKP), Destination Management Organization (DMO), Kelompok Kerja (Pokja) Pariwisata, dan masih banyak bentuk lain yang memiliki fungsi yang relatif sama. Namun, juga dapat berfungsi sebagai pelaksana program melalui sistem dan kewenangan yang diberikan, serta dukungan personil yang profesional, seperti DMO.

  • Dukungan anggaran dari APBD dan APBN (melalui komunikasi dan proposal yang profesional dengan Kementerian terkait) sesuai dengan rencana yang disusun. Komitmen APBD sangat penting, tidak hanya dari Dinas Pariwisata, tetapi juga dari dinas yang memiliki kaitan terhadap rencana pengembangan pariwisata. Dan tidak hanya untuk pembangunan infrastruktur/fasilitas fisik, juga sangat penting untuk membangun perihal non-fisik yang menentukan pengembangan sektor pariwisata, seperti peningkatan kapasitas SDM, standarisasi industri, pendidikan publik, pemasaran, dan lain-lain.

  • Dukungan Industri (swasta murni, BUMN/D) sesuai dengan core business masing-masing, khususnya industri pariwisata. Dukungan ini juga dapat diwujudkan melalui kemitraaan dan atau CSR dengan komunitas/organisasi yang profesional.

  • Dukungan SDM untuk memastikan eksekusi yang profesional yang dapat dilakukan melalui pelibatan Komunitas, Lembaga Pendidikan, dan lain-lain.


Jika kita dapat berkomitmen dan memulai upaya pembenahan pilar kelembagaan yang merupakan pondasi atau akar dari keberhasilan ini, baru kita dapat beranjak untuk membahas hal yang lebih detail terkait masing-masing aspek yang perlu dibenahi dalam pengembangan pariwisata yang kemudian merealisasikannya.

Materi ini pernah dipaparkan oleh FKK Sibolga Tapteng sebagai salah satu narasumber dalam acara Diskusi Efisiensi APBN/D untuk Pengembangan Pariwisata Sibolga yang diselenggarakan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Sibolga pada tahun 2022. Nantikan tulisan kami berikutnya.


(ATR)

33 views0 comments
bottom of page