11 Desember 2021
Mangure Lawik, selama beratus tahun telah menjadi identitas kebudayaan di tanah pesisir Sibolga Tapteng, sama seperti daerah tepian pantai pada umumnya, aktifitas budaya bertemakan laut secara sadar dilakukan masyarakat dengan berbagai macam cara dengan maksud dan tujuan yang sama yakni bersyukur, meminta keberkahan dan menolak bala. Mangure Lawik, ritual tradisional budaya yang sarat makna, dilakukan dengan kebersamaan seperti gelaran pesta kemudian menghanyutkan kurban ke lautan. Di Indonesia sendiri, ada banyak nama dan istilah yang digunakan, semisal Sedekah Laot, Kenduri Laut, Tabuik dan lain sebagainya. Munculnya gagasan tersebut, diyakini karena adanya nilai luhur yang kuat dari dalam diri masyarakat dengan kearifan pemikiran dan hasrat ingin berbudaya.
Seiring berjalannya waktu, kemajuan zaman dan tekhnologi, ilmu yang kian mutakhir ditambah lagi gerus budaya yang kian tipis terjajah tabiat baru dikalangan anak muda, Mangure Lawik kini hanya menjadi ingatan sejarah, bahwa dulu para orang tua kita, pernah secara gotong royong bersama seluruh masyarakat, nelayan dan pemerintah berpadu dalam melakukan prosesinya yang sejak 17 tahun silam, tradisi itu terdiam, tenggelam bahkan kini nyaris menghilang.
Ritual Mangure Lawik, Dokumentasi Pemko Sibolga
Pelaksanaan ritual Mangure Lawik berhenti dengan dalih kuat yang kini bisa dinilai bertolak belakang dengan prinsip keagamaan, akan tetapi kealpaan Mangure Lawik yang tidak lagi digiatkan masyarakat justru ternyata turut menurunkan apresiasi terhadap kelestarian laut yang dulunya sangat sakral untuk dijaga karena merupakan sumber dari mata pencarian penduduk Sibolga-Tapanuli Tengah, lebih dari itu Mangure Lawik yang sudah autentik menjadi tradisi budaya pesisir ini seharusnya menjadi konten kebudayaan penuh kemanfaatan.
Forum Komunitas Kreatif (FKK) Sibolga Tapteng dalam komitmennya untuk menggerakkan kreatifitas berbasis budaya pesisir, memandang Mangure Lawik sebagai salah satu bentuk manifestasi kebudayaan khas yang mempunyai potensi besar memberi dampak ganda terhadap lingkungan hidup sekaligus pariwisata. Berlatarbelakangkan hal tersebut pula, dalam kalender acara tahunannya, Mangure Lawik dijadikan sebagai agenda utama untuk dilaksanakan secara berkesinambungan. Memperkenalkan kembali Mangure Lawik sebagai bagian dari identitas budaya asli masyarakat pesisir, memanfaatkankannya sebagai sumber daya budaya yang harus dilestarikan, dipelajari, digali dan disebarkan informasinya sebagai bahan edukasi.
Dinamika Transformasi Budaya
Tajuk ‘Festival Mangure Lawik’ diangkat sebagai wujud baru dari upaya transformasi Mangure Lawik yang dulunya merupakan sebuah ritual adat pesisir. Esensi budaya Mangure Lawik yang filosofis tetap dijaga nilai-nilainya, hanya saja untuk menyesuaikan kebentuk prosesi yang lebih relevan dengan konteks sosial masyarakat Sibolga Tapteng pada masa ini. FKK Sibolga Tapteng mengambil inisiatif untuk menjadi fasilitator dan merangkul unsur masyarakat merumuskan bentuk baru dari Mangure Lawik dengan inovasi, kreatifitas dan kolaborasi terpadu lintas lembaga dan komunitas yang telah dimulai pada segmen Bulan Lestari 2020.
Festival Mangure Lawik masa kini adalah gebyar pesta rakyat, tidak sebatas kenduri namun dihiasi atraksi seni budaya dan disisipi prosesi pelarungan Rabo (instalasi media terumbu karang) mengganti ritual pelarungan kepala kerbau (sesajen) yang terlarang bagi umat beragama. Rumusan ide ini tentunya membawa tantangan tersendiri tentang upaya penyamaan persepsi dari seluruh masyarakat Sibolga Tapteng atas pengajuan konsep prosesi baru yang tetap memiliki filosofi yang sama dengan ritual terdahulu, untuk mendapatkan rumusan bentuk tersebut dan agar mendapat kesepakatan sebagai Mangure Lawik yang relevan dengan situasi sosial masyarakat saat ini dibutuhkan proses diskusi, komunikasi dan sosialisasi yang intensif kepada pihak terkait. Dalam prosesnya, upaya yang telah dilakukan pada 2020 dinilai tidak cukup, sehingga dilanjutkan kembali pada 2021, dengan tajuk The Treasure of Seabolga.
Mangure Lawik bentuk terkini, bersinggungan langsung dengan 5 sektor kelembagaan yakni Pendidikan, Seni-Budaya, Perikanan dan Kelautan, Lingkungan Hidup dan Pariwisata. Dengan kembali dilaksanakannya Mangure Lawik dalam bentuk festival diharapkan mampu mendorong kelestarian budaya sekaligus menjadi media pendidikan masyarakat, kelestarian ekologi bahari Sibolga Tapteng dan sekaligus memberikan manfaat ekonomi melalui pariwisata saat festival ini dilaksanakan bahkan hingga pasca acara.
(IAS)
Commentaires